Senin, 04 Juli 2011

RIDHA



Ridha bermakna kerelaan seorang hamba atas semua yang ditetapkan Allah SWT. Ridha merupakan maqam tertinggi bagi kalangan muqarrabin. Keistimewaan ridha tercantum dalam Al Quranul Karim, “Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya.” (Al Bayyinah : 8). Demikian pula dalam firman-Nya yang lain, “….dan (mendapat) tempat-tempat yang bagus di surga ‘And. Keridhaan Allah adalah lebih besar.”

Tidak ada peringkat yang lebih tinggi selain memandang wajah Allah. Ridha Allah merupakan satu-satunya jalan tersingkapnya tabir penghalang dalam memandangi wajah Allah itu untuk selama-lamanya.

Adapun hadits yang berbicara tentang ridha antara lain, “Nabi saw bertanya kepada sekelompok sahabatnya, ‘Siapa sebenarnya kalian ini?’ Mereka menjawab, ‘Kami adalah orang-orang mukmin.’ ‘Bisa kau tunjukkan apa tanda bukti keimanan kalian?’ pinta Nabi saw. Mereka lalu berkata, ’Kami bersabar menghadapi cobaan. Kami bersyukur saat dilimpahi kemurahan. Kami ridha terhadap semua bentuk qada yang terjadi pada diri kami.’ Kemudian Nabi saw bersabda, ’Ya, demi Tuhan Kakbah, kalian adalah orang-orang mukmin.’”

Doa tidak bertentangan dengan ridha. Dengan doa justru dapat meningkatkan kualitas keberagamaan kita. Sebab, orang yang menjadikan doa sebagai sarana beribadah berharap doanya dapat melahirkan kejernihan zikir, kekhusyukan hati, dan kelembutan hati.  Sebagaimana makan tidak bertentangan dengan sikap ridha terhadap ketentuan Allah berupa rasa lapar. Makan, sebagai upaya menghilangkan rasa lapar merupakan sebab langsung yang sudah ditetapkan oleh Allah. Demikian pula dengan doa, ia merupakan sebab yang telah ditetapkan dan diperintahkan oleh Allah SWT. Rasulullah saw diakui sebagai hamba Allah yang menempati maqam ridha tertinggi. Namun, beliau juga diistimewakan Allah melalui firman-Nya, ”Mereka berdoa kepada Kami dengan harap dan cemas.” (Al Anbiya: 90).
Termasuk salah satu kebaikan ridha terhadap ketentuan Allah adalah tidak mencela dan berkeluh kesah atas musibah yang menimpanya. Sebab, mencela dan berkeluh kesah atas kondisi yang ditakdirkan padanya berarti mencela yang menciptakan kondisi tersebut. Seharusnya, manusia tunduk pada aturan Sang Maha Pengatur dan kekuasaan Yang Maha Kuasa. Sebagaimana ucapan Umar, ”Aku tidak peduli dengan apa yang aku alami di waktu pagi, mau miskin ataupun kaya. Sebab, aku tak tahu manakah di antara keduanya yang lebih baik bagiku.”

Banyak ayat Al Quran dan hadits yang menjelaskan agar kita ridha terhadap ketentuan Allah SWT. Demikian pula kemaksiatan merupakan bagian dari ketentuan Allah. Namun dalam hal ini kebencian terhadap kemaksiatan, terhadap orang-orang yang berbuat maksiat, dan terhadap segala sesuatu yang mengantarkan kepada kemaksiatan, semuanya itu tidak bertentangan dengan ridha. Dalam sebuah hadits disebutkan, ”Siapa saja yang melihat kemungkaran dengan mata kepala sendiri, kemudian ia ridha terhadap kemaksiatan itu, maka ia tidak berbeda dengan orang yang melakukan kemaksiatan itu.” Bahkan, Allah SWT memerintahkan kita untuk berlomba-lomba dalam kebaikan serta menjauhi kejahatan, ” ...dan untuk yang demikian itu hendaknya orang berlomba-lomba.” (Al Muthaffifin: 26).

Kemaksiatan mempunyai dua wajah sisi pandang. Pertama, dilihat dari sisi Allah swt. Artinya, Dialah yang berbuat kemaksiatan itu, mengupayakan dan menghendakinya. Oleh karena itu kita mesti ridha terhadapnya. Sisi pandang kedua dilihat dari sisi hamba. Artinya, kemaksiatan itu adalah sifat dan perbuatan yang sangat dimurkai Allah dan dinyatakan sebagai penyebab kebencian dan keterjauhan dari Dia. Dari sisi ini, kemaksiatan mesti kita cela dan kita tidak kompromi dengannya. Oleh karena itu, jika kemaksiatan itu dibenci bukan dari sisi bahwa ia adalah kehendak dan perbuatan Allah, tetapi adalah karena ia merupakan sikap dan perbuatan dari selain Dia, maka tidak ada pertentangan dalam hal ini. Sebab, sesuatu dapat dibenci atau diridhai sekaligus asal dilihat dari perspektif yang berbeda.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar