Senin, 04 Juli 2011

Pemuda Sebagai Generasi yang Memahami Kondisi Realitas Umat


Jika kita menyaksikan kondisi mayoritas umat Islam saat ini, maka terlihat bahwa sebagian besar umat berada pada keadaan yang sangat memprihatinkan. Mereka bagaikan buih terbawa banjir, tidak memiliki bobot dan tidak memiliki nilai. Jika dilakukan analisis secara mendalam dari sudut pandang agama, maka akan terlihat bahwa realitas umat yang demikian disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut:

·        Penyakit umat Islam saat ini (Di Indonesia maupun di berbagai Negara Islam) berpangkal pada sikap Infiradiyyah (individualisme). Maksudnya, bahwa mayoritas umat Islam saat ini bekerja sendiri-sendiri dan sibuk dengan masalahnya tanpa berusaha menggalang persatuan dan membuat suatu bargaining position demi kepentingan umat. Para ulama dan mubalig sibuk bertabligh. Para pengusaha Muslim sibuk dengan usahanya. Para pejabat sibuk mempertahankan jabatannya. Tidak ada koordinasi dan spesialisasi bekerja sesuai dengan bidangnya, kemudian hasilnya dimusyawarahkan untuk kepentingan bersama. Demikian pula di tingkat ormas dan orpol, masing-masing bekerja sendiri, tidak ada kerja sama satu dengan lainnya. Hal inilah yang menyebabkan jurang pemisah antara masing-masing kelompok semakin besar.

·        Secara kejiwaan, beberapa penyakit yang memperparah kondisi umat Islam saat ini, diantaranya adalah:
1.     Emosional. Artinya, ikatan keislaman mayoritas umat saat ini baru pada ikatan emosional, belum disertai dengan kefahaman yang mendalam akan ajaran agamanya. Sehingga, disiplin bekerja, semangat berdakwah, gairah berinfak, dan sebagainya baru pada taraf emosional, bersifat reaktif dan sesaat. (Q.S. 22: 11)

2.     Orientasi kultus. Dalam pelaksanaan ibadah ritual, menjalankan pola hidup sampai dengan menyikapi berbagai peristiwa kontemporer, mayoritas masyarakat Muslim tidak berpegang kepada dasar (dhawabith) kaidah-kaidah Islam yang jelas. Mengapa? Karena pengetahuan keislaman yang pas-pasan sehingga lebih memandang kepada pendapat berbagai tokoh yang dikultuskan. Celakanya, para tokoh tersebut kebanyakan dikultuskan oleh berbagai lembaga yang tidak memiliki kompetensi sama sekali dalam bidang agama, seperti media massa. Akibatnya, bermunculanlah para ulama selebriti yang berfatwa tanpa ilmu sehingga sesat dan menyesatkan.


3.     Sok pintar. Sifat kejiwaan lain yang menonjol pada mayoritas kaum Muslimin saat ini adalah merasa sok pintar dalam hal agama. Jika dalam bidang kedokteran misalnya, mereka sangat menghargai spesialisasi profesi sehingga yang memiliki otoritas untuk berbicara masalah penyakit adalah dokter. Kaidah ini berlaku untuk bidang-bidang lainnya, kecuali bidang agama. Dalam bidang agama, dengan berbekal pengetahuan Islam yang ala kadarnya setiap orang sudah merasa cukup dan merasa tidak perlu belajar lagi untuk berani berbicara, berpendirian, bahkan berfatwa. Seolah-olah agama tidak memiliki kaidah-kaidah, hukum-hukum yang dipelajari, dan dikuasai sehingga seorang layak berbicara dengan mengatasnamakan Islam.

4.     Meremehkan yang lain. Sifat lain yang muncul sebagai kelanjutan dari rasa sok pintar adalah meremehkan pendapat orang lain. Dengan ringannya seorang yang baru belajar agama di sebuah universitas di Barat berani menyatakan bahwa jilbab adalah sekadar symbol, bukan suatu kewajiban syar’i. Dengan “fatwa-prematurnya” ini, ia telah berani menafsirkan tanpa kaidah atas ayat Al Quran, menakwil secara batil Hadis-hadis shahih, membuang sirah nabawiyyah (perjalanan kehidupan Rasulullah saw. dan para sahabatnya) dan ijma’ (kesepakatan) fatwa para ulama sedunia, baik salaf (terdahulu) maupun khalaf (kontemporer).


·        Adapun secara aktivitas (amaliyyah) beberapa penyakit yang menimpa mayoritas umat Islam saat ini adalah:
1.     Sembrono. Dalam aspek aktivitas, mayoritas umat melakukan kagiatan dakwah secara sembrono, tanpa perencanaan dan perhitungan yang matang sebagaimana yang mereka lakukan jika mereka mengelola suatu usaha. Akibatnya, dakwah tersebut kurang atau tidak terasa bagi umat. Kegiatan tabligh, ceramah, perayaan hari-hari besar agama yang dilakukan hanya sekadar menyampaikan tanpa ada follow up dan re-evaluasi terhadap hasilnya. Khutbah jumat hanya sekadar melaksanakan rutinitas tanpa dilakukan pembuatan silabus yang berbobot sehingga jamaah sebagian besar datang untuk tidur daripada mendengarkan isi khutbah. Kegiatan membaca Al Quran hanya terbatas pada menikmati keindahan suara pembacanya tanpa diiringi keinginan untuk menikmati dan merenungkan isinya, sehingga disamakan dengan menikmati lagu-lagu dan nyanyian belaka.

2.     Parsial. Dalam melaksanakan Islam, mayoritas umat tidak berusaha mengamalkan keseluruhan kandungan Al Quran dan As Sunnah, melainkan lebih memilih pada bagian-bagian yang sesuai dengan keinginannya dan menghindari hal-hal yang tidak sesuai dengan hawa nafsunya. (Q.S. 2: 85) Sehingga, seseorang dipandang sebagai Muslim sejati, hanya dengan indicator melakukan shalat atau puasa saja. Padahal shalat hanya bagian kecil kewajiban seorang Muslim, disamping aturan-aturan lain yang juga wajib dilaksanakan oleh seorang Muslim dalam berekonomi, politik, pergaulan, pola piker, cita-cita, bekerja, dan sebagainya. Yang kesemuanya tanpa kecuali akan diminta pertanggung-jawaban kita di akhirat kelak. (Q.S. 2: 208)


3.     Tradisional. Islam yang dilaksanakan masih bersifat tradisional, baik dari sisi sarana maupun muatannya. Dari sisi sarana, kaum Muslimin belum mampu menggunakan media-media modern secara efektif untuk kepentingan dakwah, seperti: Ceramah dengan simulasi komputer, vcd film-film yang Islami, dan iklan-iklan yang sesuai dengan nilai-nilai Islam. Kebanyakan masih mengandalkan pada cara tradisional seperti : Ceramah di masjid, musholla dan di lapangan. Sementara dari sisi muatannya, isi ceramah yang disampaikan kebanyakan masih bersifat fiqih oriented. Masalah-masalah akidah, ekonomi yang Islami, sistem politik yang islami, apalagi masalah-masalah dunia Islam kontemporer sama sekali belum banyak disentuh.

4.     Tambal-sulam. Dalam menyelesaikan berbagai persoalan umat, pendekatan yang dilakukan bersifat tumbal-sulam dan sama sekali tidak menyentuh esensi permasalan yang sebenarnya. Sebagai contoh mawabahnya AIDS, cara mengatasinya sama sekali bertentangan dengan Islam, yaitu dengan membagi-bagikan kondom. Seolah-olah lupa atau sengaja melupakan bahwa pangkal sebab dari AIDS adalah melakukan hubungan seks tidak dengan pasangan yang sah. Demikian pula masalah-masalah lainnya seperti : Tawuran pelajar, meningkatnya angka kriminalitas, penyalahgunaan Narkoba, menjamurnya KKN, dan lain sebagainya. Hal ini semua berpangkal pada satu sebab, yaitu lemahnya pemahaman dan kepedulian pemerintah dalam mengajarkan dan menerapkan aturan-aturan Islam.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar