Oleh, H. Sofyan
Siroj, Lc.MM
Direktur Qolbu
Re-Engineering
Sangat tidak menyenangkan hidup dalam
ketidaknyamanan, setiap saat selalu merasa terancam, terzhalimi, tertipu dan
tersakiti. Saat anda berbelanja ke pasar anda khawatir ditipu si
penjual. Ketika memarkir kendaraan kita was-was akan dicuri maling. Saat mengurus
administrasi di kantor layanan publik khawatir ditipu calo atau pegawai yang
minta uang lebih dari semestinya. Ketika ke rumah sakit untuk berobat kita
khawatir tidak mendapatkan pelayanan yang baik. Ketika musim sekolah tiba kita
khawatir tidak mendapatkan kursi untuk anak kita. Saat hendak melakukan ibadah
di masjid kita khawatir alas kaki akan hilang. Saat menonton TV atau membaca
koran khawatir berita itu tidak benar. Manakala musim hujan tiba kita khawatir
banjir datang melanda, begitu pula saat musim kemarau kita khawatir pula
dilanda kebakaran dan asap. Bahkan ketika hendak melaksanakan ibadah haji kita
khawatir juga dengan berbagai alasan.
Jika
mau diteruskan ada puluhan bahkan ratusan kekhawatiran di sekitar kita. Hidup
bagai monster yang menakutkan sehingga dalam menjalani hidup tak jarang orang
berputus asa dan melampiaskan dengan cara-cara yang tidak masuk akal. Ada yang
bunuh diri dengan menyertakan anak-anaknya, dan ada pula yang naik tower
listrik untuk kemudian terjun bebas. Serasa hidup di
jaman jahiliyah saling memakan, menikam dan saling jegal. Hidup penuh
kecurigaan baik ketika diperlakukan baik maupun diperlakukan sebaliknya.
Menurut
pakar kepemimpinan dan motivasi, dalam menyikapi hal ini yang harus kita rubah
adalah cara kita melihat masalah tersebut. Benar apa yang mereka sampaikan,
tapi itu hanya menyentuh sedikit dari masalah yang bertumpuk menggunung.
Pada saat kemunculan Islam, masyarakat
pada saat itu menampilkan perilaku kebinatangan dan jauh dari nilai-nilai
kemanusiaan yang fitrah. Akan tetapi dalam rentang waktu yang tidak terlalu
lama wajah beringas itu berubah menjadi wajah tawadhu’, rendah hati dan saling
mencintai. Kisah persaudaraan Muhajirin dan Anshor sungguh menggetarkan lekuk
hati kita yang paling dalam. Sampai-sampai mereka rela berbagi istri, harta dan
kekayaan. Bahkan saat menjelang ajal mereka masih mengutamakan saudaranya
dibanding dirinya sendiri. Sungguh mengagumkan.
Hal ini tentu tidak mengherankan, jika
kita memahami persudaraan dan cinta menjadi bagian yang paling dasar dalam
ajaran Islam. Bahkan tidak bisa disebut beriman jika ia tidak mencintai
saudaranya (seiman) sama seperti mencintai dirinya sendiri. Kalau sudah
demikian tentu tidak ada ruang untuk hidup individualistis, tidak ada keinginan
untuk mengambil hak saudara kita dengan jalan yang batil. Karena perilaku kita
dibingkai oleh iman untuk tetap lurus dalam kebenaran. Rasa cinta akan
menghapuskan kekhawatiran, menghilangkan kecurigaan.
Simaklah
persaudaraan antara Abu Darda dan Salman a-Farisi. Saat
Salman al-Farisi meminta Abu Darda menemaninya untuk melamar seorang perempuan
dari Bani Najjar. Dengan antusias Abu Darda membantu Salman untuk mengurus segala
sesuatunya. Ketika waktu khitbah (melamar) telah ditentukan, mereka berdua
datang ke rumah si perempuan dan Abu Darda bertindak menjadi juru bicara bagi
Salman al-Farisi.
Sungguh diluar dugaan jawaban yang
diterima dari perempuan yang sejatinya dilamar oleh Salman al-Farisi. ”Maafkan
kami atas keterusterangan ini”, Ternyata sang ibu yang bicara mewakili
puterinya. ”Tetapi karena Anda berdua yang datang, maka dengan mengharap ridha
Allah saya menjawab bahwa puteri kami menolak pinangan Salman. Namun jika Abu Darda’
kemudian juga memiliki urusan yang sama, maka puteri kami telah menyiapkan
jawaban untuk mengiyakan.”
Bayangkan
sebuah perasaan, di mana cinta dan persaudaraan bergejolak berebut tempat dalam
hati. Bayangkan pula sebentuk malu yang membuncah bercampur aduk dengan kesadaran;
bahwa dia memang belum punya hak apapun atas orang yang dicintainya. Salman
kemudian angkat bicara. ”Allahu Akbar!”, seru Salman, ”Semua mahar dan nafkah
yang kupersiapkan ini akan aku serahkan pada Abu Darda’, dan aku akan menjadi
saksi pernikahan kalian!
Itulah bahasa cinta, tidak
menyisakan ruang untuk iri apalagi dengki. Manakala saudaranya bahagia ia ikut
pula bahagia seperti kebahagiaan yang dirasakan saudaranya. Begitu pula
sebaliknya saat saudaranya dililit kesulitan ia juga merasakan kesulitan itu
sebagaimana saudaranya merasakan kesulitan tersebut.
Cinta tumbuh beriringan dengan
keimanan dan cinta menjadi bagian untuk melengkapi keimanan. Tanpa cinta iman tidak
sempurna. Pertanyaannya adalah apakah cinta telah benar-benar tumbuh dalam hati
kita seperti yang disabdakan oleh Rasulullah SAW? La yu’minu ahadukum hatta
yuhibba liakhihi ma yuhibbu linafsihi ( Tidak sempurna iman seseorang kamu
hingga ia mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri).
Tanpa cinta, hidup tetap bagai
monster yang menakutkan.....Wallahu a’lam bishshawab..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar