Sabtu, 29 Agustus 2015

Hidup Bahagia Dengan Cinta


Oleh, H. Sofyan Siroj, Lc.MM
Direktur Qolbu Re-Engineering


            Sangat tidak menyenangkan hidup dalam ketidaknyamanan, setiap saat selalu merasa terancam, terzhalimi, tertipu dan tersakiti. Saat anda berbelanja ke pasar anda khawatir ditipu si penjual. Ketika memarkir kendaraan kita was-was akan dicuri maling. Saat mengurus administrasi di kantor layanan publik khawatir ditipu calo atau pegawai yang minta uang lebih dari semestinya. Ketika ke rumah sakit untuk berobat kita khawatir tidak mendapatkan pelayanan yang baik. Ketika musim sekolah tiba kita khawatir tidak mendapatkan kursi untuk anak kita. Saat hendak melakukan ibadah di masjid kita khawatir alas kaki akan hilang. Saat menonton TV atau membaca koran khawatir berita itu tidak benar. Manakala musim hujan tiba kita khawatir banjir datang melanda, begitu pula saat musim kemarau kita khawatir pula dilanda kebakaran dan asap. Bahkan ketika hendak melaksanakan ibadah haji kita khawatir juga dengan berbagai alasan.


            Jika mau diteruskan ada puluhan bahkan ratusan kekhawatiran di sekitar kita. Hidup bagai monster yang menakutkan sehingga dalam menjalani hidup tak jarang orang berputus asa dan melampiaskan dengan cara-cara yang tidak masuk akal. Ada yang bunuh diri dengan menyertakan anak-anaknya, dan ada pula yang naik tower listrik untuk kemudian terjun bebas. Serasa hidup di jaman jahiliyah saling memakan, menikam dan saling jegal. Hidup penuh kecurigaan baik ketika diperlakukan baik maupun diperlakukan sebaliknya.

            Menurut pakar kepemimpinan dan motivasi, dalam menyikapi hal ini yang harus kita rubah adalah cara kita melihat masalah tersebut. Benar apa yang mereka sampaikan, tapi itu hanya menyentuh sedikit dari masalah yang bertumpuk menggunung.

            Pada saat kemunculan Islam, masyarakat pada saat itu menampilkan perilaku kebinatangan dan jauh dari nilai-nilai kemanusiaan yang fitrah. Akan tetapi dalam rentang waktu yang tidak terlalu lama wajah beringas itu berubah menjadi wajah tawadhu’, rendah hati dan saling mencintai. Kisah persaudaraan Muhajirin dan Anshor sungguh menggetarkan lekuk hati kita yang paling dalam. Sampai-sampai mereka rela berbagi istri, harta dan kekayaan. Bahkan saat menjelang ajal mereka masih mengutamakan saudaranya dibanding dirinya sendiri. Sungguh mengagumkan.

            Hal ini tentu tidak mengherankan, jika kita memahami persudaraan dan cinta menjadi bagian yang paling dasar dalam ajaran Islam. Bahkan tidak bisa disebut beriman jika ia tidak mencintai saudaranya (seiman) sama seperti mencintai dirinya sendiri. Kalau sudah demikian tentu tidak ada ruang untuk hidup individualistis, tidak ada keinginan untuk mengambil hak saudara kita dengan jalan yang batil. Karena perilaku kita dibingkai oleh iman untuk tetap lurus dalam kebenaran. Rasa cinta akan menghapuskan kekhawatiran, menghilangkan kecurigaan.

            Simaklah persaudaraan antara Abu Darda dan Salman a-Farisi. Saat Salman al-Farisi meminta Abu Darda menemaninya untuk melamar seorang perempuan dari Bani Najjar. Dengan antusias Abu Darda membantu Salman untuk mengurus segala sesuatunya. Ketika waktu khitbah (melamar) telah ditentukan, mereka berdua datang ke rumah si perempuan dan Abu Darda bertindak menjadi juru bicara bagi Salman al-Farisi. 

            Sungguh diluar dugaan jawaban yang diterima dari perempuan yang sejatinya dilamar oleh Salman al-Farisi. ”Maafkan kami atas keterusterangan ini”, Ternyata sang ibu yang bicara mewakili puterinya. ”Tetapi karena Anda berdua yang datang, maka dengan mengharap ridha Allah saya menjawab bahwa puteri kami menolak pinangan Salman. Namun jika Abu Darda’ kemudian juga memiliki urusan yang sama, maka puteri kami telah menyiapkan jawaban untuk mengiyakan.”

            Bayangkan sebuah perasaan, di mana cinta dan persaudaraan bergejolak berebut tempat dalam hati. Bayangkan pula sebentuk malu yang membuncah bercampur aduk dengan kesadaran; bahwa dia memang belum punya hak apapun atas orang yang dicintainya. Salman kemudian angkat bicara. ”Allahu Akbar!”, seru Salman, ”Semua mahar dan nafkah yang kupersiapkan ini akan aku serahkan pada Abu Darda’, dan aku akan menjadi saksi pernikahan kalian!

            Itulah bahasa cinta, tidak menyisakan ruang untuk iri apalagi dengki. Manakala saudaranya bahagia ia ikut pula bahagia seperti kebahagiaan yang dirasakan saudaranya. Begitu pula sebaliknya saat saudaranya dililit kesulitan ia juga merasakan kesulitan itu sebagaimana saudaranya merasakan kesulitan tersebut.

            Cinta tumbuh beriringan dengan keimanan dan cinta menjadi bagian untuk melengkapi keimanan. Tanpa cinta iman tidak sempurna. Pertanyaannya adalah apakah cinta telah benar-benar tumbuh dalam hati kita seperti yang disabdakan oleh Rasulullah SAW? La yu’minu ahadukum hatta yuhibba liakhihi ma yuhibbu linafsihi ( Tidak sempurna iman seseorang kamu hingga ia mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri).

            Tanpa cinta, hidup tetap bagai monster yang menakutkan.....Wallahu a’lam bishshawab..


Tidak ada komentar:

Posting Komentar