KH. Sofyan Siroj Abdul Wahab, Lc, MM
Ketua Yayasan Wakaf al-Ihsan Riau ( YWIR)
Kita adalah juru dakwah sebelum menjadi siapapun. Dakwah tak mungkin dipisahkan dalam
kehidupan seorang muslim. Dan karena dakwah itulah, seorang muslim wajib
memahami agamanya dengan baik dan komprehensif sehingga mereka mampu melaksakan
kewajiban dakwah yang mesti ia pikul.
Seorang juru dakwah harus memiliki kesadaran
penuh bahwa tugas dakwahnya memiliki konsekuensi sebagai resiko yang terencana.
Sehingga resiko sebesar apapun tidak akan menghentikan tekad dan
perjuangannya.
Begitu layar terkembang, perahu dakwah terus berlayar menuju tujuan amal Islami
apapun resikonya.
Inilah yang lazim diteladankan para
ustadz dan kiyai dalam dunia pesantren. Para santri
belajar tentang keteguhan tekad, ketulusan sikap dan kemuliaan perilaku dari
guru-guru mereka di sana. Mereka melihat,menyimak, mendengar, meresapi dan
menghayati seluruh nilai-nilai tersebut dalam interaksi 24 jam yang kemudian
melekat menjadi sebuah karakter.
Pesantren Al-Ihsan dan Hikmah Musibah Kebakaran
Kebakaran erat hubungannya dengan bencana atau
musibah. Musibah kebakaran Pesantren Al-Ihsan belum lama ini cukup menghentak
kesadaran kita semua. Rasulullah SAW bersabda:
Apabila kalian
melihat kebakaran bertakbirlah, karena sesungguhnya takbir dapat memadamkannya (Riwayat Ibnu Asakir)
Hadist ini menganjurkan kepada kita bertakbir
bila melihat kebakaran, niscaya api akan padam. Dianjurkan demikian karena
setan berasal dari api, sedangkan dalam hadist lain disebutkan, apabila suara
azan diserukan maka setan lari terbirit-birit dengan nafas yang terengah-engah.
Diantara lafaz azan terdapat takbir. Oleh karena itu, bila terjadi kebakaran
hendaklah bertakbir, insya Allah dengan seizin-Nya kebakaran akan padam.
Semangat takbir dari hadits di atas hendaknya menjadi jiwa dari pembenahan kembali Pesantren Al-Ihsan. Pembenahan yang tidak saja mencakup aspek fisik semata namun juga aspek spiritual. Pembenahan aspek fisik kita perlu semaksimal mungkin menangkal bencana dan musibah dengan berbagai sarana dan prasarananya. Misalnya, merancang masterplan pembangunan yang komprehensif, tata ruang yang bisa mereduksi kerugian jika terjadi bencana, membangun drainase yang baik, dan mengelola perangkat pencengahan dan peringatan dini dari bahaya kebakaran serta kesiapsiagaan penghuninya.
Pembenahan spiritual (ruhiyah) agar setiap
bencana dapat disikapi dengan sabar dan sebagai sarana mengokohkan tauhid. Tidak ada di kalangan manusia
manapun yang suka kepada bencana, karena bencana sangat menyusahkan. Ada yang
ditimpa bencana sekali-kali saja, ada yang selalu, ada yang ringan, ada yang
berat, ada yang terjadi pada dirinya atau keluarganya yang terpenting adalah
bagaimana setiap musibah bisa disikapi penuh kesadaran sebagai bentuk takdir
dan ujian Allah SWT.
Saya memulai analisa ini dengan, insha Allah, syahidnya dua orang santri
Pesantren Al-Ihsan akibat kebakaran yang menimpa gedung asrama tempat mereka
bermukim. Adalah Arsadi Robbani dan Musa Alimul Haq, sosok anak muda yang
begitu menggugah kita yakni sosok yang tumbuh berkembang dalam ketaatan
kepada Allah swt.
Setidaknya ada tiga alasan argumentatif yang
melatarbekangi diambilnya sosok dua santri ini menjadi jiwa pembenahan
Pesantren Al-Ihsan : pertama, kedua santri telah kami kenal aktivitas
kesehariannya. Dimana mereka bermukim 24 jam di sana sehingga informasi mengenai
keduanya mudah untuk diakses. Kedua, mereka adalah para santri yang sedang menimba ilmu,
baik akademis, life skill maupun keagamaan. Ketiga, mereka adalah anak-anak
muda yang sedang tumbuh dewasa dimana godaan hingar- bingar kehidupan kawula
muda sangat terbuka, namun mereka memilih berada di pesantren untuk berkhidmat
pada agamanya.
Ini merupakan fenomena langka dimana terdapat
sekumpulan pemuda berada di majelis-majelis ilmu apatah lagi berada di
pesantren untuk mengkhususkan diri belajar agama. Sebuah tantangan berat di
tengah apatisme publik akan lahirnya generasi muda berkualitas yang mampu
memakmurkan negara dan bangsa yang besar ini.
Di sisi lain, agama sebenarnya telah memberikan
jawaban kongkrit dan lugas atas masalah tersebut yakni mengalihkan energi besar
yang dimiliki anak-anak muda pada aktivitas positif dan syarat nilai-nilai
spiritualitas.
Pesantren, Sarana Pembentuk Pribadi Unggul
Hingga saat ini, umat Islam masih meletakkan
harapan besar pada dunia pesantren sebagai lembaga yang mampu
memberi solusi terhadap permasalahan pembinaan generasi muda. Sementara model
pendidikan kontemporer mulai 'menggoda' dunia pesantren yang sebenarnya telah
memiliki 'keunggulan' dalam metode pendidikan khasnya.
Masuknya model pendidikan kontemporer yaitu memasukkan kurikulum baru (di luar kajian Islam) dan mengurangi materi pendidikan agama (Islam.red) yang justru berakibat pada terjadinya penurunan kualitas santri dalam melakukan pendalaman agama (tafaqquh fi al-din). (Sarmidi - Dilema Pendidikan Pesantren). Sebuah dilematika pendidikan yang harusnya tidak boleh terjadi dan segera mendapat jawaban jitu.
Dalam pandangan saya, dunia pesantren harus
melakukan beberapa langkah strategis yang sangat substansi. Pertama, pesantren
harus memahamkan dirinya dengan benar tentang tujuan utama keberadaannya.
Kedua, pesantren tidak boleh mengalami 'keterkejutan budaya' dalam menghadapi
arus gelombang model pendidikan kontemporer. Dan ketiga, pesantren harus
percaya diri dan mampu mengokohkan eksistensinya dalam mengambil peran di
masyarakat yakni dengan aktif menghasilkan lulusan yang berkualitas unggul
secara kompetensi.
Di titik inilah, pesantren harus berani tampil
secara cerdas dan hadir sebagai problem solver. Kecerdasan ini terkait dengan
kehandalan manajemen yang dikomandani oleh Pemimpin yang kuat dan berkarakter
(Strong Leader), manajemen yang sistematis, sistem pendidikan yang terpadu yang
akan menjadi model untuk mencerdaskan kehidupan berbangsa dan bernegara. Problem solver.
Inilah yang dilakukan pesantren di masa lalu. Para santri adalah sosok
penerjemah peran pesantren dalam memberikan solusi atas problematika di tengah
masyarakatnya. Salah satu yang bisa kita jadikan referensi adalah bagaimana kiprah KH. Ahmad
Dahlan dengan Muhammadiyyah atau KH. Hasyim Ashari dengan Nahdlotul Ulamanya.
Mereka hadir terus menerus menjaga umat Islam melalui sekolah dan pesantren
yang mereka dirikan hingga saat ini. Dari sana pula hadir santri-santri yang
luar biasa besarnya dalam percaturan kehidupan umat Islam.
Tentu ada pertanyaan mendasar,
mengapa para Kiai dulu dan hingga detik ini mampu menghadirkan kader-kader yang
kiprahnya demikian luar biasa. Lihat saja, bagaimana Pondok Modern Gontor yang
alumninya telah merambah ke manca negara bahkan menjadi tokoh-tokoh penting di
negeri ini.
Jawabannya, karena di pesantrenlah
para santri dididik dan dibentuk untuk memiliki kedewasaan moral di usia baligh.
Dewasa di usia masih belia, saat banyak orang dewasa bersifat kekanak-kanakan dalam pemikiran dan kematangan jiwa.
Jiwa Pesantren Al-Ihsan
Kedewasaan moral di usia baligh
inilah yang menjadi keunggulan pesantren dalam menghadapi derasnya tantangan
kehidupan modern. Kedewasaan di usia baligh bisa diindikasikan sebagai pribadi
santri yang berpenampilan sederhana, memiliki ketekunan untuk memelihara sholatnya, memiliki interaksi yang kuat dengan
kitab sucinya, memiliki sikap
kewaspadaan yang tinggi dan berakhlak mulia.
Tidak mudah untuk membentuk karakter
anak-anak usia baligh atau kita sebut saja ABG (anak Baru Gede) sebagaimana
yang dimaksud dalam kedewasaan moral ini. Mereka harus memiliki sifat-sifat
dasar yang harusnya sudah dikenalkan dan ditanamkan oleh orang tuanya sejak
dini. Namun, kebanyakan orang tua apalagi di zaman yang berteknologi tinggi
saat ini, kesadaran untuk menanamkan nilai-nilai substansi kepada jiwa anak
sering kali luput dari pengamatan mereka. Kesibukan, itulah yang kerap menjadi
argumentasi utama atas kealpaan tersebut.
Namun, 'kealpaan' atas pembentukan
karakter utama ini tidak boleh berlaku, apalagi sengaja dilupakan bagi
pesantren. Menjunjung nilai-nilai kebenaran (siddiq), menjadi anak yang bisa dipercaya (amanah), tertanam jwa dan pikiran yang cerdas
(fathanah) dan memiliki tabiat yang sangat
komunikatif (tabligh) adalah nilai-nilai pendidikan utama
yang harus terpancar dari pribadi setiap santri .
Dalam tekad itulah, Pesantren Al-Ihsan kemudian merangkai sebuah slogan yakni Ihsan Fikri, Ihsan Akhlak, dan Ihsan Qolbu. Slogan yang
berupaya terus menerus diingatkan kepada setiap santri bahwa mereka harus
selalu dalam kondisi 'terbaik' dalam berpikir, berakhlaq/ berperilaku dan
bersikap. Agar dalam kondisi 'terbaik' inilah, seorang santri akhirnya mampu
menerima nilai-nilai kebenaran dengan lapang dada penuh kesadaran. Mereka pun
hadir sebagai insan yang layak dan patut untuk dipercaya. Mereka juga memiliki
kecerdasan dalam analisa sehingga bisa memberikan solusi bagi masyarakatnya
serta berjiwa komunikatif sehingga mampu memahamkan orang lain dengan hikmah
yang memuliakan.
Dengan cara inilah, maka pesantren akan mampu hadir sesuai dengan maksud keberadaanya yakni menjadi 'jawaban' atas problematika umat yang demikian luas, berat dan kompleks tersebut. Semoga, dengan mendapat pertolongan, taufiq dan hidayah Allah sajalah, kita semua berharap para santri yang telah 'lulus' dari seluruh pesantren di negeri ini menjadi apa yang telah didambakan umat Islam dunia sejak lama. Wallahu'alam.